Senin, 26 Januari 2009

ANALISIS DAKWAH

Analisis Unsur Dakwah

Para ahli berbeda pendapat dalam menentukan hal-hal yang menjadi unsur dakwah. Barmawie Umary menyebutkan bahwa dakwah memiliki tujuh unsur yaitu: Dasar Dakwah, Tujuan Dakwah, Subyek Dakwah, Obyek Dakwah, Materia Dakwah, Metode Dakwah, dan Alat Dakwah.

Endang Saifuddin Anshari menyebut 10 unsur dakwah yaitu 7 unsur seperti disebut Barmawi ditambah 3 unsur antara lain : Waktu Dakwah, Evaluasi Dakwah dan Faktor X Dakwah.

Perbedaan seperti di atas merupakan hal wajar karena ilmu dakwah merupakan ilmu yang terbuka untuk penyempurnaan. Selain itu setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Karena itu peluang untuk bertambahnya unsur dakwah akan terus berlanjut.

Pada pasal ini unsur dakwah yang akan dibahas meliputi

  1. Subyek Dakwah

Subyek dakwah adalah orang yang melakukan dakwah, yang dalam bahasa Arab disebut dā'ī. Dalam konteks keindonesiaan para dā'ī memiliki banyak sebutan lain di antaranya muballigh, ustadh, kyai, ajengan, tuan guru, teungku dan sebagainya. Hal ini didasarkan atas tugas dan eksistensinya sama seperti dā'ī. Padahal hakekatnya tiap-tiap sebutan tersebut memiliki kadar kharisma dan keilmuan berbeda-beda dalam pemahaman masyarakat Islam di Indonesia. Munculnya beberapa istilah di atas pada umumnya juga dikaitkan dengan kapasitas para dā'ī itu sendiri. Setiap dā'ī memiliki kekhasan yang berbeda dengan yang lain. Hal ini tergantung dengan wacana keilmuan yang diperoleh, latar belakang pendidikan dan pengalaman yang berbeda.

Dua macam dā'ī

Dā'īy dapat dibedakan menjadi dua macam :

Pertama, dā'ī menurut kriteria umum yaitu setiap muslim yang berdakwah sebagai kewajiban yang melekat tak terpisahkan dari missinya sebagai penganut Islam, dan

Kedua, dā'ī menurut kriteria khusus yaitu mereka yang mengambil keahlian khusus dalam bidang dakwah Islam, dengan kesungguhan luar biasa dan dengan qudwah hasanah.

Dalam aktivitas dakwah, dā'ī merupakan unsur penting. Tanpa ada dā'ī agama Islam akan menjadi sekadar ide atau cita-cita tanpa ada implementasi. Karena dā'īlah agama Islam dapat disebarkan sehingga ide dan cita-cita Islam dapat diimplementasikan dalam realitas kemasyarakatan.

Status dā'ī

Status dā'ī dalam dakwah begitu penting di antaranya :

  1. Sebagai pemimpin, karena dia adalah penyeru kepada kebajikan dan orang yang mencegah kemunkaran. Dalam kaitan ini, dā'ī dituntut untuk bisa menjadi uswah hasanah bagi umat.
  2. Sebagai mujahid, artinya sebagai pejuang dan penegak ajaran Allah. Dalam hal ini dā'ī dituntut memiliki jiwa besar dan mampu membesarkan jiwa orang lain.
  3. Sebagai obyek, karena dā'ī selain sebagai penyeru kebajikan kepada orang lain, dia juga harus menyeru dirinya sendiri supaya berbuat kebajikan dan menjauhi kemunkaran.
  4. Sebagai pembawa missi yaitu pembawa amanah Allah.
  5. Sebagai pembangun, yaitu pembawa perubahan ke arah yang lebih baik.

Tugas/fungsi dā'ī

Dengan status seperti di atas, dā'ī memiliki tugas atau fungsi sebagai berikut :

  • meluruskan aqidah.

    Dalam hal ini dā'ī berfungsi sebagai penyampai kebenaran ajaran tauhid, dan membersihkan jiwa manusia dari kepercayaan-kepercayaan yang keliru. Dalam kaitan ini ada beberapa golongan yang sangat memerlukan pelurusan tersebut yaitu :

    • Golongan yang kosong dari aqidah yang benar
    • Golongan yang memiliki aqidah yang menyimpang
    • Golongan yang mengaku bertauhid tetapi kurang mantap
    • Golongan yang bimbang dan tidak konsekuen dengan pengakuannya.
  • mendorong dan merangsang orang untuk giat beramal sālih

    Fungsi dā'ī di sini adalah memberi rangsangan, motivasi dan dorongan, menganjurkan serta memberi teladan dengan amal sālih karena banyak di antara orang yang tidak mau beramal disebabkan :

    • tidak tahu bagaimana caranya
    • tidak mengerti hikmah dan faedahnya
    • karena kemalasan dan kelalaiannya
    • karena unsur kesengajaan

    Maka kemampuan dā'ī diuji di sini, bagaimana caranya dorongan dan rangsangan beramal itu menjadi suatu kesadaran.

  • membersihkan dan menyucikan jiwa, sebab berbagai macam kerusakan dan kejahatan seringkali disebabkan karena kekotoran jiwa atau rohani manusia.

Syarat-syarat dā'ī

Menurut Jum'ah Amin Abdul Aziz, antara dakwah dan dā'ī-nya tidak bisa dipisahkan, karena seorang muslim yang memahami dakwahnya dengan pemahaman yang benar, akan tetapi kurang tepat dalam menyampaikan dakwahnya kepada manusia sama bahayanya dengan seorang muslim yang tidak memahami Islam dengan pemahaman yang benar, akan tetapi ia pandai berargumen, pandai bicara, dan baik dalam menyampaikan. Kelompok yang pertama tidak pandai menyampaikan sekalipun dia paham, sementara yang kedua baik dalam menyampaikan meski dengan segala kebodohannya. Oleh karena itu, Islam hanya akan menjadi dakwah yang benar apabila dibawakan seorang dā'ī yang wā'in (paham) dan berakhlaq.

Menurut Mustafa al-Sibā'ī :

"Musibah yang menimpa agama ini di sepanjang zaman adalah disebabkan dua golongan manusia. Yang pertama, kelompok yang salah paham atau tidak paham agama ini, dan kelompok kedua adalah mereka yang pandai menyampaikan. Kelompok yang pertama menyesatkan orang-orang mukmin, sedang kelompok yang kedua memberikan alasan bagi orang-orang kafir."


 

Berpijak pada hal tersebut, maka kedudukan dā'ī yang begitu penting dalam aktifitas dakwah, harus dilengkapi dengan beberapa kualifikasi. Dari sini maka dā'ī dituntut memiliki 3 syarat yaitu : syarat yang menyangkut jasmaninya, syarat ilmu pengetahuan dan syarat kepribadian.

Syarat yang menyangkut jasmani terkait dengan kesehatan jasmani secara umum dan keadaan tubuh yang mengalami cacat atau tidak. Kesehatan secara umum jelas merupakan hal penting yang harus dicermati oleh dā'ī, karena aktivitas dakwah merupakan aktivitas yang menggabungkan aspek rohani dan jasmani. Gangguan kesehatan jasmani jelas memiliki pengaruh terhadap aktivitas dakwah. Begitu pula masalah keadaan tubuh yang mengalami cacat atau tidak. Tetapi untuk yang terakhir ini dalam kenyataannya dapat diatasi, yang berarti bukan merupakan hal yang mutlaq.

Syarat ilmu pengetahuan yang harus dimiliki dā'ī yaitu ia harus memahami secara mendalam ilmu, makna-makna serta hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur'ān dan al-Sunnah. Bentuk pemahaman itu dapat dirinci ke dalam tiga hal :

  1. Pemahaman terhadap aqidah Islam dengan baik dan benar serta berpegang teguh pada dali-dalil al-Qur'ān dan al-Sunnah
  2. Pemahaman terhadap tujuan hidup dan posisinya di antara manusia.
  3. Pemahaman terhadap ketergantungan hidup untuk akhirat dengan tidak meninggalkan urusan dunia.

    Sejalan dengan uraian di atas, menurut Hamzah Ya'kub setiap dā'ī harus:

  4. Mengetahui tentang al-Qur'ān dan Sunnah Rasul sebagai pokok agama Islam
  5. Memiliki pengetahuan Islam yang berinduk kepada al-Qur'ān dan Sunnah, seperti tafsir, ilmu hadith, sejarah kebudayaan Islam dan lain-lain.
  6. Memiliki pengetahuan yang menjadi alat kelengkapan dakwah seperti: teknik dakwah, ilmu dakwah, ilmu jiwa (psychology), sejarah, antropologi, perbandingan agama dan sebagainya.
  7. Memahami bahasa umat yang akan diajak kepada jalan yang diridai oleh Allah. Demikian juga ilmu retorika dan kepandaian berbicara dan mengarang.


 

Selain pengetahuan di atas, dā'ī harus memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang :

  1. Obyek dakwah, yaitu pemahaman bahwa orang yang dihadapi memiliki keaneka ragaman dalam segala seginya.
  2. Dasar dakwah, yaitu pemahaman terhadap latar belakang secara yuridis dalam melakukan dakwah.
  3. Tujuan dakwah, yaitu pemahaman terhadap apa yang akan dicapai di dalam usaha dakwah,
  4. Materi dakwah, yaitu pemahaman terhadap pesan/informasi atau ajaran agama yang akan disampaikan kepada orang lain secara benar atau baik.
  5. Metode Dakwah, yaitu pemahaman terhadap cara-cara yang akan dipakai dalam melaksanakan dakwah.
  6. Alat dakwah, yaitu pemahaman terhadap alat-alat yang perlu digunakan dalam berdakwah.

Syarat kepribadian tampaknya merupakan syarat yang paling banyak dibicarakan oleh para ahli, sehingga dalam soal ini banyak pendapat dikemukakan.

Berkait dengan soal tersebut, ayat 159-164 surat Āli 'Imrān menyebut secara rinci kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang dā'ī, yaitu :

  1. Berlaku lemah lembut dalam berdakwah
  2. Bermusyawarah dalam beberapa urusan, termasuk dalam urusan dakwah
  3. Memiliki tekad yang kuat dalam berdakwah.
  4. Bertawakkal kepada Allah setelah bermusyawarah dan melakukan kebulatan tekad.
  5. Selalu memohon pertolongan Allah
  6. Tidak melakukan tindakan curang
  7. Mendakwahkan ayat Allah untuk menjalankan jalan hidup bagi umat manusia.
  8. Membersihkan jiwa raga manusia dengan jalan mencerdaskan mereka
  9. Mengajarkan manusia kitab suci al-Qur'ān dan hikmah.

Menurut Abd. Rosyad Shaleh, seorang dā'ī harus memiliki nilai-nilai pribadi sebagai berikut :

  1. Berpandangan jauh ke masa depan
  2. Bersikap dan bertindak bijaksana
  3. Berpengetahuan luas
  4. Bersikap dan bertindak adil
  5. Berpendirian teguh
  6. Mempunyai keyakinan bahwa missinya akan berhasil
  7. Berhati ikhlas
  8. Memiliki kondisi fisik yang baik
  9. Mampu berkomunikasi.

Abul A'la al-Maududi menyebut beberapa hal yang harus dimiliki dā'ī di antaranya :

  1. Sanggup memerangi musuh dalam dirinya sendiri yaitu hawa nafsu untuk taat sepenuhnya kepada Allah dan Rasul-Nya sebelum memerangi hawa nafsu orang lain.
  2. Sanggup berhijrah dari hal-hal yang maksiat yang dapat merendahkan dirinya di hadapan Allah dan di hadapan masyarakat
  3. Mampu menjadi uswah hasanah dengan budi dan akhlaqnya bagi masyarakat yang menjadi mad'uw-nya
  4. Memiliki persiapan mental :
    1. Sabar, yang meliputi sifat-sifat teliti, tekad yang kuat, tidak bersikap pesimis dan putus asa, kuat pendirian serta selalu memelihara keseimbangan akal dan emosi.
    2. Senang memberi pertolongan kepada orang dan bersedia berkorban, mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan harta serta kepentingan yang lain.
    3. Cinta dan memiliki semangat yang tinggi dalam mencapai tujuan
    4. Menyediakan diri untuk bekerja yang terus-menerus secara teratur dan berkesinambungan.


     

Jum'ah Amin Abdul Aziz menyebut beberapa kepribadian yang harus dimiliki dā'ī di antaranya :

  1. Amānah, yaitu terpercaya. Maksudnya seorang dā'ī dituntut memiliki kepribadian yang dapat dipercaya. Sifat inilah yang merupakan sifat Nabi dan Rasul, dan kunci keberhasilan dakwah mereka.
  2. Sidq, berarti kejujuran dan kebenaran, sebagai lawan dari kedustaan. Sifat ini terkait dengan sifat amānah. Tidak ada manusia jujur yang tidak terpercaya, dan tidak ada manusia terpercaya yang tidak jujur. Karena itu dā'ī wajib memiliki sifat ini dalam kepribadiannya baik dalam perkataannya, niat atau kehendaknya maupun perbuatannya.
  3. Ikhlās, artinya murni karena Allah swt. tegasnya aktivitas dakwah yang dilakukan sang dā'ī semata-mata ditijukan untuk mendapatkan rida dari Allah.
  4. Rahmah, rifq dan hilm. Seorang dā'ī harus menyadari bahwa missi yang diembannya adalah missi yang penuh rahmah (kasih sayang), rifq (kelemahlembutan) dan hilm (penyantun). Tiga hal ini harus dimiliki dā'ī dalam aktivitas dakwahnya. Karena apabila kekasaran dan kekerasan yang dimunculkan oleh dā'ī, niscaya orang akan lari dan tak menghiraukan ajakan dā'ī.
  5. Sabr atau sabar.
  6. Hirs artinya perhatian yang besar. Seorang dā'ī dituntut memiliki perhatian yang besar kepada obyek dakwahnya, sampai yang bersangkutan merasakan adanya perhatian tersebut. Perasaan seperti ini akan mampu membuka hatinya dan menggugah perasaannya, sehingga si mad'uw siap mendengarkan dan memperhatikan apa yang disampaikannya.
  7. Thiqah artinya percaya. Maksudnya percaya bahwa Islam akan memperoleh kemenangan dan ajarannya akan tersebar di seluruh penjuru bumi meskipun musuh-musuh Islam terus menghambat.
  8. Wa'iy atau peka. Maksudnya peka terhadap segala upaya yang dilakukan musuh Islam, sehingga mampu menghindarkan diri dari tipu daya, rencana jahat dan makar mereka.

Dalam Tafsir Dakwah ditambahkan sifat-sifat yang harus menjadi cermin kepribadian dā'ī yaitu :

  1. Tidak bersikap emosional, sebab dia hanya bertugas menyampaikan kebenaran, sedangkan petunjuk dan kesesatan ada di tanagn Allah.
  2. Bertindak sebagai pemersatu umat; bukan pemecah belah umat; mengutamakan pengertian Islam yang sebenar-Nya dan bukan pengertian Islam yang sudah dikebiri oleh kepentingan pribadi dan golongan.
  3. Tidak bersikap materialistis, artinya materi tidak sebagai tujuan utama dakwahnya.

    HAMKA menyebut beberapa kepribadian yang mesti dimiliki dā'ī yaitu :

  4. Hendaknya seorang dā'ī menilik dan menyelidiki benar-benar kepada dirinya sendiri, guna apa dia mengadakan dakwah. (menyangkut masalah niat).
  5. Hendaklah seorang pendakwah mengerti benar soal yang akan diucapkan
  6. Terutama sekali kepribadian muballigh atau dā'ī haruslah kuat dan teguh, tidak terpengaruh oleh pandangan orang banyak ketika memuji dan tidak tergoncang ketika mata orang melotot karena tidak senang. Jangan ada cacat pada perangai meskipun ada cacat pada jasmaninya.
  7. Pribadinya menarik, lembut tetapi bukan lemah, tawadu' merendahkan diri tetapi bukan rendah diri, pemaaf tetapi disegani. Dia duduk di tengah orang banyak, namun dia tetap tinggi dari orang banyak. Merasakan apa yang dirasakan orang banyak.
  8. Harus mengerti pokok pegangan kita ialah al-Qur'ān dan al-Sunnah. Disamping itu pun harus mengerti ilmu jiwa dan mengerti pula adat istiadat orang yang hendak didakwahi.
  9. Jangan membawa sikap pertentangan, jauhkan dari sesuatu yang akan membawa debat. (Tidak perlu membuka masalah khilāfiyah di muka orang banyak/orang awam).
  10. Haruslah diinsafi bahwasanya contoh teladan dalam sikap hidup, jauh lebih berkesan kepada jiwa umat daripada ucapan yang keluar dari mulut.
  11. Hendaklah muballigh dan dā'ī itu menjaga jangan sampai ada sifat kekurangan yang akan mengurangi gengsinya di hadapan pengikutnya. Karena kekurangan gengsi (prestise) akan sangat menghalangi kelancaran gagasan dan ajuran yang dikemukakan.


 

  1. Obyek Dakwah

Obyek dakwah (mad'uw) adalah manusia yang menjadi sasaran dakwah atau manusia penerima dakwah, baik individu atau kelompok, baik yang beragama Islam atau bukan beragama Islam.

Pada pokoknya obyek dakwah adalah manusia secara keseluruhan.

Bagi mereka yang sudah beragama Islam, dakwah dimaksudkan meningkatkan derajat dan kualitas keimanan dan ketaqwaan; sedang bagi yang belum masuk Islam, dakwah dimaksudkan untuk mengajak mereka masuk Islam, yaitu jalan keselamatan hidup di dunia dan akhirat.

Di dalam aktivitas dakwah, pengenalan terhadap karakteristik obyek dakwah merupakan suatu keharusan. Tanpa hal ini niscaya dakwah akan mengalami kegagalan.

Obyek dakwah sangatlah kompleks, terdiri dari berbagai macam golongan manusia.

Menurut Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip oleh M. Natsir, obyek dakwah dapat dibagi menjadi tiga :

  1. golongan cerdik cndekiawan yang cinta kebenaran, dan dapat berpikir secara kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan.
  2. Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berpikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian yang tinggi-tinggi.
  3. Ada golongan yang tingkat kecerdasannya di antara kedua golongan tersebut.

Barmawie Umary menyebutkan bahwa ketika dā'ī berada di tengah-tengah masyarakat, dia akan mendapati berbagai macam tingkatan manusia. Dā'ī akan berhadapan dengan mereka yang :

  1. Menganut faham-faham dan pengertian-pengertian yang tradisional yang sulit bagi mereka untuk mengubahnya.
  2. Secara apriori akan menolak segala sesuatu yang baru.
  3. Dengan ulet ingin mempertahankan kedudukannya.
  4. Merasa khawatir apabila yang akan disampaikan itu akan merugikan.
  5. Cerdik cendekiawan yang hanya mau menerima segala sesuatu realita dengan dalil.
  6. Ragu-ragu disebabkan bermacam visi atau pengetahuan yang serba tanggung.
  7. Bodoh tiada mengerti masalah yang sebenarnya.


 

Menurut M. Arifin obyek dakwah adalah sebagai berikut :

  1. Dilihat dari segi sosiologis berupa masyarakat terasing, pedesaan, kota besar dan kecil, serta masyarakat di daerah marginal.
  2. Dilihat dari segi struktur kelembagaan berupa masyarakat, pemerintah dan keluarga.
  3. Dilihat dari segi sosio-kultural berupa golongan priyayi, abangan dan santri. Klasifikasi ini terutama terdapat dalam masyarakat di Jawa.
  4. Dilihat dari segi tingkat usia berupa golongan anak-anak, remaja dan orang tua.
  5. Dilihat dari segi okupasional (profesi atau pekerjaan) berupa golongan petani, pedagang, seniman, buruh, pegawai negeri dan sebagainya.
  6. Dilihat dari segi tingkat hidup sosial ekonomis berupa golongan orang kaya, menengah dan miskin.
  7. Dilihat dari segi jenis kelamin (sex) berupa golongan wanita, pria dsb.
  8. Dilihat dari segi khusus berupa golongan masyarakat tuna susila, tuna wisma, tuna karya, narapidana dan sebagainya.


 

Obyek dakwah dapat dilihat dari segi agama/kepercayaannya dan tingkat keberagamaannya. Dalam konteks ini A. Hasjmy menyebut obyek atau sasaran dakwah sebagai berikut :

  1. Manusia muslim, yang dapat dibagi menjadi empat macam:
    1. Manusia muslim yang berimbang iman dan amal sālihnya
    2. Manusia muslim yang tidak berimbang antara iman dan amal sālihnya
    3. Manusia muslim taat dan taqwa
    4. Manusia muslim yang ma'siyat dan durhaka
  2. Manusia kafir, yang dapat dibagi menjadi tiga macam:
    1. Manusia kafir kitābī samāwī, seperti Yahudi dan Nasrani
    2. Manusia kafir kitābī non samāwī, seperti Hindu, Budha dsb
    3. Manusia kafir ilhadi, seperti penganut atheisme.
  3. Manusia munafiq

Ada pula yang melihat obyek dakwah dari derajat pikirannya seperti berikut ini :

  1. Umat yang berpikir kritis, yaitu orang-orang yang berpendidikan, yang selalu berpikir mendalam sebelum menerima sesuatu yang dikemukakan kepadanya.
  2. Umat yang mudah dipengaruhi, yaitu masyarakat yang mudah dipengaruhi oleh faham baru tanpa menimbang-nimbang secara matang apa yang dikemukakan kepadanya.
  3. Umat yang bertaqlid, yaitu golongan yang fanatik buta berpegang pada tradisi dan kebiasaan turun-temurun tanpa menyelidiki salah atau benarnya.


 

Terkait dengan ketiga penggolongan di atas, di sini dapat ditambahkan masalah sugestibilitas (kepekaan disugesti). Faktor-faktor yang erat hubungannya dengan sugestibilitas antara lain :

  1. Usia, merupakan faktor yang merupakan sebab orang mudah menerima sugesti. Para ahli psikologi telah banyak melakukan serangkaian percobaan tentang hal ini, yang menunjukkan bahwa anak-anak lebih mudah disugesti daripada orang dewasa. Semakin tambah usia dan tambah pengalaman, seseorang semakin kritis dan diskriminatif dalam menerima respons.
  2. Jenis kelamin. Para ahli psikologi dalam penyelidikannya mendapat bukti bahwa perempuan lebih suggestible daripada laki-laki.
  3. Kecerdasan. Orang yang kurang cerdas lebih mudah disugesti. Sedang orang yang cukup tinggi kecerdasannya tidak mudah disugesti. Kaum cendekiawan lebih sulit untuk disugesti daripada orang awam.
  4. Ketidaktahuan seseorang juga mudah menjadi umpan sugesti.

Penggolongan obyek dakwah ada yang didasarkan pada responsinya terhadap aktivitas dakwah yaitu :

  1. Golongan simpati aktif, yaitu obyek dakwah yang simpati dan secara aktif memberi dukungan moril dan material terhadap kesuksesan dakwah. Mereka juga berusaha mengatasi hal-hal yang dianggapnya merintangi jalannya dakwah, bahkan mereka bersedia berkorban segalanya untuk kepentingan syi'ar Allah.
  2. Golongan pasif, yaitu obyek dakwah yang apatis (masa bodoh) terhadap dakwah, tidak memberikan dukungan dan juga tidak merintangi dakwah.
  3. Golongan antipati, yaitu obyek dakwah yang tidak rela atau tidak suka akan terlaksananya dakwah. Mereka selalu berusaha dengan berbagai cara untuk mengrintangi atau menggagalkan dakwah.

Menghadapi obyek dakwah yang begitu kompleks maka dā'ī dituntut untuk membekali diri dengan pengetahuan tentang elemen-elemen dinamis dalam masyarakat yaitu :

  1. Tujuan. Dā'ī harus memperhatikan secara saksama dan mengenal apakah yang menjadi tujuan manusia dalam sistem sosial ini ?
  2. Peraturan. Norma-norma yang berlaku atau yang harus diciptakan di dalam masyarakat ini juuga harus menjadi perhatian para dā'ī
  3. Peranan manusia. Bagaimana peranan dan kedudukan anggota-anggotanya dan penyalurannya masing-masing, merupakan komposisi masyarakat yang disusun secara fungsional dan professional, harus mendapatkan perhatian khusus dari setiap dā'ī.
  4. Kekuasaan. Dā'ī harus tahu dan mengerti sampai di mana peranan kekuasaan ini dijalankan dalam masyarakat, baik yang berupa otorita maupun yang berbentuk pengaruh/karisma. Dakwah lebih banyak bersifat pengaruh daripada otorita yang bersifat formal.
  5. Tingkatan sosial. Dā'ī harus menyadari bagaimana kehidupan lapisan-lapisan sosial dan arah gerakannya.
  6. Sanksi-sanksi. Sanksi-sanksi sosial apa yang berlaku di dalam masyarakat, positif ataukah negatif, harus dipelajari oleh dā'ī.
  7. Fasilitas. Fasilitas adalah kemudahan yang tersedia untuk menyamankan kehidupan. Fasilitas apa saja yang tersedia dalam masyarakat tidak boleh lepas dari pengamatan dan penelitian si dā'ī.
  8. Skup. Artinya si dā'ī perlu mencermati seberapa luas ruang lingkupnya dalam menjalankan aktivitas dakwah di masyarakat.

Dengan mengetahui berbagai macam karakteristik obyek dakwah di atas dan mengetahui elemen-elemen dinamis yang ada dalam masyarakat, akan sangat membantu dalam menentukan pendekatan dan metode dakwah. Dengan pendekatan dan metode dakwah yang tepat dan cocok dengan obyek dakwah akan membawa keberhasilan dakwah.

  1. Materi Dakwah

Materi dakwah adalah isi pesan yang disampaikan dā'ī kepada mad'uw. Materi dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri yang bersumberkan dari al-Qur'ān dan al-Sunnah. Karena itu materi dakwah sangatlah luas. Dalam kaitan ini banyak uraian yang mencoba mengadakan perincian terhadap materi dakwah.

Barmawie Umary merinci materi dakwah antara lain: 'aqīdah, 'akhlāq, ahkām, ukhuwwah, pendidikan, sosial, kebudayaan, kemasyarakatan, amar makruf dan Nahi Munkar.

Menurut Slamet Muhaemin Abda, materi yang ada dalam al-Qur'ān merupakan materi pokok dakwah. Menurutnya, isi pokok al-Qur'ān meliputi :

  1. 'Aqīdah
  2. 'ibādah
  3. mu'āmalah
  4. 'Akhlāq
  5. Sejarah
  6. Dasar-dasar ilmu dan teknologi
  7. Lain-lain baik berupa anjuran, janji ataupun ancaman..


 

A. Hasjmy menyebutkan isi al-Qur'ān, yang merupakan dustūr dakwah, terdiri atas empat bidang pokok :

  1. Bidang 'Aqīdah dan 'Ibādah

    Dalam bidang ini tercantum ketentuan-ketentuan dan petunjuk-petunjuk mengenai keimanan dan hubungan manusia dengan Tuhannya :

    1. Bimbingan 'aqīdah
    2. Tuntunan tata cara 'ibādah
  2. Bidang Politik
    1. Prinsip-prinsip tentang hukum dasar negara
    2. Prinsip-prinsip tentang hukum dasar ekonomi/keuangan
    3. Prinsip-prinsip tentang hukum dasar kehakiman
    4. Prinsip-prinsip tentang hukum dasar peperangan
    5. Prinsip-prinsip tentang hukum dasar tabshir/dakwah
  3. Bidang Sosial
    1. Prinsip-prinsip tentang hukum dasar jaminan sosial.
    2. Prinsip-prinsip tentang hukum dasar kemerdekaan, kebebasan dan persamaan.
    3. Prinsip-prinsip tentang hukum dasar keluarga
    4. Prinsip-prinsip tentang hukum dasar kehidupan sosial
  4. Bidang 'Akhlāq
    1. Prinsip-prinsip tentang hukum dasar 'akhlāq pribadi dan 'akhlāq masyarakat
    2. Prinsip-prinsip tentang hukum dasar perbaikan dan pembinaan 'akhlāq.


 

Dalam kaitan dengan hal di atas, al-Sunnah merupakan :

  1. Bayān Tafsīr, menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan mushtarak seperti penjelasan tentang cara shalat.
  2. Bayān Taqrīr, yaitu memperkokoh dan memperkuat penjelasan al-Qur'ân.
  3. Bayān Taudīh, artinya penjelas maksud dan tujuan suatu ayat al-Qur'ân.


 

Pada prinsipnya materi dakwah Islam adalah ajaran Islam. berkenaan dengan ini Endang Saifuddin Anshari membagi ajaran Islam dengan perincian sebagai berikut :

  1. 'Aqīdah, yang meliputi :
    1. Iman kepada Allah
    2. Iman kepada malaikat-malaikat-Nya
    3. Iman kepada kitab-kitab-Nya
    4. Iman kepada rasul-rasul-Nya
    5. Iman kepada hari akhir
    6. Iman kepada Qadā' dan Qadar
  2. Sharī'ah, yang meliputi :
    1. 'Ibādah (dalam arti khas) :
      1. Tahārah
      2. Salāt
      3. Zakāt
      4. Saum
      5. Hajj
    2. Mu'āmalah (dalam arti luas)
      1. Al-Qānūn al-Khās (Hukum Perdata)
        1. Mu'āmalah dalam arti khas = hukum niaga
        2. Munākahah = hukum nikah
        3. Warathah = hukum wraith
        4. Dsb.
      2. Al-Qānūn al-'Ām (Hukum Publik)
        1. Jināyah = hukum pidana
        2. Khilāfah = hukum negara
        3. Jihād = hukum perang dan damai
        4. Dsb.
  3. 'Akhlāq , yang meliputi :
    1. 'Akhlāq terhadap Khāliq
    2. 'Akhlāq terhadap makhluq yang meliputi :
      1. 'Akhlāq terhadap manusia
      1. Diri sendiri
      2. Tetangga
      3. Masyarakat lainnya

      b) 'Akhlāq terhadap bukan manusia

      1. Flora
      2. Fauna
      3. Dan lain sebagainya


       

  1. Media Dakwah

Media (wasīlah) dakwah adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalurkan pesan (message), merangsang fikiran, perhatian dan kemauan orang sehingga dapat mendorong proses dakwah.

Wardi Bachtiar mengartikan media dakwah sebagai peralatan yang dipergunakan untuk menyampaikan materi dakwah. Menurut Imam Sayuti Faried, media dakwah adalah alat obyektif yang menjadi saluran, yang menghubungkan ide dengan umat. Senada dengan Imam Sayuti Faried, Moh. Ali Aziz mengartikan media dakwah sebagai alat yang dipergunakan untuk menyampaikan māddah (materi) dakwah (ajaran Islam) kepada mad'uw..

Media dakwah sangatlah beraneka ragam. Pada dasarnya dakwah dapat menggunakan berbagai media yang dapat merangsang indera-indera manusia serta dapat menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah. Semakin tepat dan efektif media yang dipakai, semakin efektif pula upaya pemahaman ajaran Islam pada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah.

Hamzah Ya'qub membagi media dakwah menjadi 5 macam: lisan, tulisan, lukisan, audio visual dan akhlaq.

  • Lisan merupakan media dakwah yang paling sederhana yang menggunakan lidah dan suara. Dakwah dengan media ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah, bimbingan dan penyuluhan dan sebagainya.
  • Tulisan baik berupa buku, majalah, surat kabar, spanduk dan sebagainya.
  • Lukisan, gambar, karikatur dan sebagainya.
  • Audio visual yaitu alat dakwah yang merangsang indera pendengaran atau penglihatan atau kedua-duanya, seperti radio, televisi, slide, film, OHP (overhead projector) dan sebagainya.
  • 'Akhlāq, yaitu perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran Islam dan dapat diamati serta dimengerti oleh mad'uw.

Dalam kaitan media ini, Yoyon Mudjiono –mengutip dari pendapat Anwar Arifin– menyebut tiga jenis media :

  1. The Spoken Words (yang berbentuk ucapan) yaitu media dakwah yang berbentuk ucapan atau bunyi yang dapat ditangkap dengan indera telinga seperti radio, telepon dan sebagainya
  2. The Printed Writing (yang berbentuk tulisan), yaitu media dakwah yang berbentuk tulisan, gambar, lukisan dan sebagainya yang dapat ditangkap dengan indera mata.
  3. The Audiovisual (yang berbentuk gambar hidup), yaitu media dakwah yang berbentuk gambar hidup yang dapat didengar sekaligus dapat dilihat seperti televisi, film, video dan sebagainya.

Sejalan dengan Yoyon Mujiono, Brets membuat klasifikasi media berdasarkan adanya tiga ciri yaitu: suara (audio), bentuk (visual) dan gerak (motion). Atas dasar ini Brets membuat delapan kelompok media yaitu :

  1. Media audio-motion-visual, yakni media yang mempunyai suara, ada gerakan dan bentuk obyeknya dapat dilihat. Media semacam ini paling lengkap. Jenis media termasuk kelompok ini adalah televisi, video tape dan film bergerak.
  2. Media audio-still-visual, yakni media yang mempunyai suara, obyeknya dapat dilihat, namun tidak ada gerakan. Seperti film-strip bersuara, slide bersuara atau rekaman televisi dengan gambar tak bergerak (television still recordings).
  3. Media audio-semi motion, mempunyai suara dan gerakan, tetapi tidak dapat menampilkan suatu gerakan secara utuh, seperti tele-writing atau teleboard.
  4. Media motion-visual, yakni media yang mempunyai gambar obyek bergerak, seperti film (bergerak) bisu (tak bersuara).
  5. Media still-visual, yakni ada obyek namun tidak ada gerakan, seperti film-strip, gambar, microform atau halaman cetakan.
  6. Media semi-motion (semi gerak), yakni yang menggunakan garis dan tulisan seperti tele-autograf.
  7. Media audio, hanya menggunakan suara, seperti radio, telepon, audio-tape.
  8. Media cetakan, hanya menampilkan simbol-simbol tertentu yaitu huruf (simbol bunyi).

Dalam rumusan yang agak berlainan, walaupun isinya banyak terdapat kemiripan dengan uraian Brets di atas, M. Bahri Ghazali dan Slamet Muhaemin Abda membagi media menjadi: media visual, media auditif, media audiovisual, dan media cetak.

- Media Visual

Media visual merupakan media yang digunakan dengan memanfaatkan indera penglihat dalam menangkap datanya. Jadi matalah yang paling berperan dalam pengembangan dakwah. Yang termasuk dalam media ini adalah: film slide, OHP, gambar dan foto diam

Film slide adalah rekaman gambar pada film positif yang telah diprogramkan sedemikian rupa sehingga dapat dilihat hasilnya sesuai dengan peristiwa yang telah diprogramkan, terutama sekali tentang tertib kegiatan yang dilaksanakan.

OHP atau Overhead projector merupakan perangkat keras yang dapat memproyeksikan program ke dalam layar monitor dari rangkaian program yang telah dipersiapkan dengan menggunakan plastik transparansi.

Gambar dan foto diam merupakan media visual yang dapat memberi penjelasan terhadap sasaran yang dituju. Karena itu media ini akan lebih efektif apabila diterapkan sebagai pelengkap dakwah melalui media cetak.

- Media Auditif

    Media auditif adalah alat yang dapat dioperasikan sebagai sarana penunjang aktivitas dakwah, yang dapat ditangkap melalui indera pendengaran. Yang tergolong dalam media ini adalah radio, tape recorder dan telepon.

    Radio merupakan media yang dipergunakan dalam mengirim warta jarak jauh yang dapat ditangkap oleh sekelompok orang yang mendengarnya melalui pemancar radio yang diinginkan. Dalam kegiatan dakwah keberadaan radio sangat penting dalam penyampaian materi dakwah dalam bentuk-bentuk pidato, ceramah atau kuliah. Radio dapat menjangkau obyek dakwah yang berjauhan dan lebih murah sehingga radio dimiliki oleh semua orang dari berbagai strata sosial.

    Tape Recorder adalah perangkat elektronik yang dapat merekam suara yang ada di sekitarnya. Media ini sangat besar peranannya dalam dakwah, karena dapat merekam informasi yang disampaikan para dā'i dan kemudian dapat direproduksi kembali dan disebarkan sehingga sasaran dakwah bisa diperluas.

    Media telepon sangat efektif untuk kepentingan dakwah bagi kalangan orang-orang menengah ke atas yang sering berada dalam kesibukan. Mereka tidak sempat menghadiri forum-forum dakwah, sehingga sarana telepon dapat menjadi salah satu alternatif penyampaian dakwah kepada mereka.

- Media Audiovisual

    Media ini merupakan media yang dapat ditangkap baik melalui indera pendengar maupun penglihat, dan merupakan media yang paling sempurna dibanding lainnya. Yang termasuk dalam media ini adalah Movie film, televisi dan video.

    Movie film yaitu film di bioskop. Movie film dioperasikan di gedung yang luas dan besar, karena itu khalayak penerima dakwah lebih banyak. Dakwah melalui movie film lebih komunikatif sebab materi dakwah diproyeksikan dalam skenario film yang memikat.

    Televisi merupakan media audiovisual yang memiliki daya jangkau lebih luas, karena itu televisi sangat efektif untuk kepentingan dakwah. Program kegiatan televisi dapat diikuti oleh pemirsanya dengan santai. Akan tetapi penyelenggaraan satu program televisi cukup mahal dan memerlukan koordinasi yang baik di antara para pekerja televisi.

    Video merupakan media audio visual yang mirip televisi, tetapi programnya tidak tergantung pada penyiaran stasiun pusat. Video dapat memancarkan program dalam bentuk audio visual. Lagi pula program video dapat disusun sesuai selera dā'i.

- Media Cetak

    Media cetak merupakan media dakwah yang berbentuk huruf-huruf atau simbol-simbol yang dicetak. Termasuk dalam media ini adalah buku, surat kabar, majalah dan bulletin.

    Media buku sangat bermanfaat dalam upaya memberikan pemahaman yang mampu memberikan perubahan bagi pembacanya. Media buku yang dimaksudkan di sini adalah buku yang berdimensi wawasan keagamaan yang mengantar pembacanya pada nilai-nilai yang ma'rūf dan hasanah dan menjurus pada lahirnya khaira ummah.

    Media surat kabar biasanya lebih menekankan segi informasi dan terkadang persuasi. Berdakwah melalui surat kabar dapat dilakukan dalam bentuk tulisan atau gambar yang mendeskripsikan suatu ajaran dan aplikasinya bagi kehidupan manusia. Berdakwah melalui surat kabar sangat besar manfaatnya karena media ini mampu membentuk opini masyarakat.

    Media majalah/buletin biasanya berbentuk seperti buku dan terbit tidak setiap hari. Selain itu setiap majalah memiliki kekhususan-kekhususan atau ciri tertentu, misalnya majalah perempuan, majalah kebudayaan dan sebagainya. Penggunaan media ini dalam berdakwah harus memperhatikan kekhususan dari majalah tersebut. Karena itu dibutuhkan dā'ī yang menguasai bidang penulisan yang sesuai dengan missi majalah.

Media yang beraneka ragam di atas dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam dakwah dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih media adalah :

  1. Faktor tujuan. Bila akan memilih media dakwah, harus sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Yang dimaksud tujuan di sini terutama –sebagaimana disebutkan oleh Abd. Rosyad Shaleh– tujuan departemental dakwah.
  2. Kegunaan dari berbagai jenis media itu sendiri. Setiap jenis media mempunyai nilai kegunaan sendiri-sendiri. Hal ini harus dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih jenis media yang digunakan. Sesuaikah media yang akan digunakan dengan materi yang akan disampaikan ? apakah media itu sesuai dengan kemampuan sasaran dakwah ?
  3. Kemampuan dā'ī menggunakan suatu jenis media. Betapapun tingginya nilai kegunaan media, tidak akan memberi manfaat sedikit pun di tangan orang yang tidak mampu menggunakan.
  4. Fleksibilitas (kelenturan), tahan lama dan kenyamanan media. Dalam memilih media harus dipertimbangkan kelenturan, dalam arti dapat digunakan dalam berbagai situasi; juga harus tahan lama (tidak sekali pakai langsung dibuang) untuk menghemat biaya, dan digunakannya pun tidak berbahaya.
  5. Keefektifan suatu media dibandingkan dengan jenis media lain untuk digunakan dalam suatu aktivitas dakwah.
  1. Metode Dakwah

Berbicara tentang metode dakwah terlebih dahulu perlu diketahui pengertian metode. Metode adalah suatu cara yang bisa ditempuh atau cara yang ditentukan secara jelas untuk mencapai dan menyelesaikan suatu tujuan, rencana, sistem dan tata pikir manusia.
Moh. Ali Aziz
mengartikan metode sebagai suatu kerangka kerja dan dasar-dasar pemikiran untuk mendapatkan cara-cara yang sesuai dan tepat untuk mencapai suatu tujuan. Maka metode dakwah adalah suatu cara yang bisa ditempuh atau cara yang ditentukan secara jelas oleh dā'ī untuk mencapai dan menyelesaikan suatu tujuan, rencana, sistem dan tata pikir manusia dalam dakwah. Dapat pula diartikan. metode dakwah sebagai cara yang ditempuh oleh dā'ī dalam melakukan tugasnya (berdakwah) guna mencapai tujuan dakwah.

Metode terkait erat dengan teknik dan pendekatan. Teknik adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dari pengertian ini berarti metode lebih menitikberatkan kepada pengertian yang lebih bersifat teoritis dan berbentuk kerangka atau landasan, sedangkan teknik merupakan wujud pelaksanaan dari teori tersebut dan berkaitan langsung dengan media yang dipergunakan.

Sedang pendekatan adalah langkah awal untuk menentukan metode dan teknik yang dipergunakan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.

Dalam masalah metode dakwah, al-Qur'ân memberi pedoman pokok yang terangkum dalam ayat :

أدع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن النحل 125

"Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik."

ِAyat di atas secara garis besar menggariskan tentang karakteristik atau prinsip-prinsip metode dakwah yang terdiri atas :

  1. Hikmah

Istilah hikmah memiliki makna yang cukup luas. Dalam bahasa Indonesia istilah ini sering diartikan kebijaksanaan yang merupakan ilmu pengetahuan yang mendalam dan kesanggupan mengamalkan ilmu itu sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat.

Para ulama' memiliki pendapat yang bermacam-macam dalam menjelaskan pengertian hikmah di antaranya :

  1. Syekh Zamakhshari dalam al-Kashshaf-nya menjelaskan bahwa hikmah adalah perkataan yang pasti benar. Ia adalah dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan atau kesamaran.
  2. Syekh al-Tusi dalam al-Tibyan fi al-Tafsir al-Qur'an juz VI mengatakan bahwa hikmah adalah mengajak orang lain mengikuti perbuatan baik dan bagus yang berhak dipuji dan diberi pahala. Sebab perbuatan buruk atau jahat itu dilarang dan tidak ada ajakan untuk melakukannya. Bahkan terhadap perbuatan mubah pun tidak ada dakwah untuk melakukannya. Berdakwah untuk melakukan yang mubah adalah sia-sia. Dakwah dilakukan hanya untuk mengajak orang melakukan yang diwajibkan atau dianjurkan, karena perbuatan demikian berhak dipuji dan diberi pahala.
  3. Muhammad Husain Fadhlullah mengatakan hikmah adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya atau kebenaran suatu perkara. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa hikmah merupakan perpaduan antara unsur pengetahuan, latihan dan pengalaman. Dengan pengalaman, ilmu atau keahlian, dan latihan, seseorang dapat terbantu untuk mengeluarkan pendapat yang benar dan memfokuskan langkah-langkah dan perbuatannya; tidak menyimpang dan tidak goyah dan meletakkannya pada proporsi yang tepat. Atau sebagaimana yang sering diungkapkan, "meletakkan sesuatu pada proporsinya"
  4. Menurut Lisān al-Arab kata hikmah merupakan ungkapan pengetahuan mengenai sesuatu yang paling baik, dengan landasan ilmu yang terbaik. Maka dikatakan kepada orang yang dapat menciptakan karya yang rinci sebagai orang yang hakim.
  5. Zaid Abdul Karim Az-Zaid memberikan pengertian hikmah berdasar al-Qur'ān dan al-Sunnah. Menurutnya kata hikmah dalam al-Qur'ān dapat dibedakan menurut enam sisi :
    1. Berarti kenabian dan kerasulan. (Q.S. Ali Imran: 48; Q.S. Sad: 20)
    2. Berarti al-Qur'ān, tafsīr, ta'wīl dan perkataan yang benar (Q.S. Al-Baqarah: 269)
    3. Berarti pemahaman yang mendetil dan pengetahuan terhadap agama. (Q.S. Maryam: 12).
    4. Berarti pengajaran dan peringatan. (Q.S. al-Nisā':54; Q.S. al-An'ām: 89).
    5. Berarti ayat-ayat al-Qur'ān, perintah dan larangan Allah. (Q.S. An-Nahl: 125).
    6. Berarti hujjah akal sesuai dengan hukum-hukum syariat. (Q.S. Luqman: 12).

    Sedang pengertian hikmah berdasarkan al-Sunnah di antaranya:

    1. Hikmah diartikan sebagai kebenaran tentang sesuatu; atau kebenaran dalam berkata; atau pemahaman tentang Allah; atau kebenaran yang dipersaksikan akal; atau cahaya yang membedakan antara ilham dan rasa was-was; atau kecepatan menjawab yang benar; atau al-Qur'ān.
    2. Hikmah diartikan sebagai ilmu yang mencakup pengetahuan tentang dhat Allah.
    3. Hikmah diartikan sebagai sesuatu yang dapat mencegah dari kebodohan dan menyingkirkan keburukan
    4. Hikmah diartikan sebagai perkataan yang benar dan sesuai dengan kebenaran.
  6. Menurut Marsekan Fatawi, hikmah yaitu berdakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan menitikberatkan pada kemampuan mereka, sehingga di dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam selanjutnya mereka tidak lagi merasa terpaksa atau keberatan.
  7. Menurut al-Nawāwī, hikmah adalah ilmu yang meliputi pengetahuan tentang dhat Allah yang disertai basīrah, merealisir kebenaran dalam bentuk amalan, mendidik jiwa dan mencegah dari kebalikannya.
  8. Menurut H. A. Mukti Ali, da'wah bi al-hikmah adalah kesanggupan dā'ī untuk menyiarkan Islam dengan mengingat waktu dan tempat, dan masyarakat yang akan dihadapinya.
  9. Menurut Mohammad Natsir, hikmah dapat dibagi ke dalam bermacam-macam bentuk :
    1. Hikmah dalam arti "mengenal golongan"

      Dalam aktivitas dakwah, dā'ī akan menghadapi berbagai macam manusia dengan karakter yang berbeda-beda. Ada golongan yang bersikap tradisional, ada golongan yang apriori terhadap tiap hal yang baru; ada golongan yang awam, ada golongan cerdik cendekia yang hanya mau menerima sesuatu atas dasar argumentasi dan keterangan yang nyata. Masing-masing harus dihadapi dengan cara yang sepadan dengan tingkat kecerdasan, sepadan dengan alam pikiran dan perasaan serta tabiat masing-masing.

    2. Hikmah dalam arti kemampuan memilih saat harus bicara dan saat harus diam.
    3. Hikmah dalam mengadakan kontak pemikiran dan mencari titik pertemuan, sebagai tempat bertolak, untuk maju secara sistematis.

      Setiap pemikiran yang baru yang dirasakan asing oleh sebuah masyarakat, biasanya sukar diterima oleh masyarakat. Masyarakat baru mau menerima manakala pemikiran itu ada sangkut pautnya dengan apa yang sudah ada dan hidup dalam alam pikiran dan perasaannya, atau sesuatu yang dirasakan langsung mengenai kepentingan mereka sendiri.

      Seorang dā'ī memerlukan "kontak" dengan alam pikiran mereka yang dihadapinya. Untuk itu ia harus mengetahui bahan apersepsi apa yang ada, dan harus pula dia "menjangkau"nya. Dengan demikian dia dapat "membangkitkan minat" yang diperlukan guna selanjutnya menggerakkan daya pikir yang bersangkutan.

    4. Hikmah tidak melepaskan sibghah

      Aktifitas dakwah memerlukan sikap tasamuh (toleransi yang tinggi). Walau demikian persoalan yang prinsip tidak boleh dikorbankan. Dengan demikian hikmah bukan berarti melepaskan sibghah, apalagi jatuh ke dalam perbuatan talbis (mencampur adukkan yang haq dan batil)

    5. Hikmah dalam memilih dan menyusun kata-kata yang tepat

      Dalam surat al-Ahzab ayat 70 umat Islam diperintahkan untuk selalu berkata yang tepat (qawlan sadidan). Qawlan sadidan adalah kata yang lurus (tidak berbelit-belit), kata yang benar, keluar dari hati yang suci bersih, dan diucapkan dengan cara sedemikian rupa, sehingga tepat mengenai sasaran yang dituju yakni: panggilan dakwah sampai mengetuk pintu akal dan kalbu mereka yang dihadapi.

    6. Hikmah dalam cara perpisahan

      Pada suatu saat dakwah akan menghadapi konfrontasi pemikiran yang bertolak belakang dengan obyeknya sehingga menimbulkan perdebatan yang panjang. Sekalipun tidak ada titik temu antara kedua pihak umpamanya, dā'ī harus pandai mengakhiri perdebatan dengan perpisahan yang justru merangsang dilanjutkannya perdebatan pada waktu berikutnya.

    7. Hikmah dengan arti Uswah Hasanah dan Lisan al-Hāl

      Dalam aktifitas dakwah, selain lisan dan tulisan, uswah hasanah (teladan yang baik) dan lisān al-hāl (bahasa keadaan) merupakan alat yang sangat penting. Inilah bahasa tanpa suara. Sebenarnya bahasa ini bahasa yang paling sederhana dan asli, sudah terlebih dahulu dipergunakan sebagai alat penghubung, sebelum manusia bisa menggunakan bahasa dengan kata-kata. Tetapi apabila dipergunakan pada saat dan dengan cara yang tepat, maka kekuatannya sama, malah terkadang lebih kuat daripada kata-kata.

    Dari sekian banyak makna hikmah yang telah terurai di atas, kita memperoleh gambaran betapa luasnya makna hikmah. Namun kita ambil pengertian pokok (dalam kaitan dengan aktifitas dakwah) bahwa hikmah adalah ketepatan dalam perkataan, perbuatan dan keyakinan serta meletakkan sesuatu pada tempatnya.

Hikmah lebih dari sekadar metode dakwah. Hikmah adalah prinsip bagi metode dakwah, sehingga segala metode yang dipergunakan haruslah disinari oleh hikmah. Dalam kaitan ini Muhammad Husain Fadhlullah mengatakan : kata hikmah ditinjau dari segi makna dan kandungannya mirip dengan kata al-murūnah (fleksibilitas atau elastisitas). Sebab kata tersebut menghendaki para juru dakwah untuk tidak hanya menggunakan satu cara dalam dakwahnya. Ia harus menggunakan bermacam-macam metode, teknik dan cara untuk kesuksesan dakwahnya. Para juru dakwah hendaknya menggunakan metode yang cocok dengan iklim suatu tempat, watak, status, dan posisi anggota masyarakat yang menjadi sasaran dakwahnya.

  1. Maw'izah al-Hasanah

Dengan memperhatikan definisi hikmah yang telah dikemukakan secara panjang lebar pada pasal sebelumnya, maka dapatlah diketahui bahwa maw'izah al-hasanah dan mujadalah dengan cara terbaik adalah termasuk dalam pengertian hikmah. Hubungan keduanya (antara hikmah dengan maw'izah al-hasanah dan mujadalah) adalah hubungan arti khusus dari yang umum.

Asal arti kata maw'izah adalah perkataan yang melunakkan jiwa pendengar untuk siap mengerjakan kebaikan dan menyambut perkataan tersebut.

Dalam maknanya, maw'izah menunjukkan sifat yang mencakup keinginan dan ketakutan serta peringatan dengan akibat yang menggembirakan. Berdasarkan hal ini Ibnu Atiyah berkata: "maw'izah al-hasanah berarti menakut-nakuti, mengundurkan, dan berlunak-lunak terhadap manusia dengan membesarkan batinnya dan meningkatkan semangatnya, serta membuatnya sebagai sosok orang yang menerima keutamaan-keutamaan."

Secara ringkas maw'izah al-hasanah adalah menasehati orang dengan tujuan tercapainya suatu manfaat atau masalahat baginya. Adapula yang mengartikan maw'izah al-hasanah sebagai peringatan dengan kebaikan dalam hal melunakkan hati manusia terhadapnya.

Maw'izah al-hasanah merupakan cara berdakwah yang disenangi, mendekatkan manusia kepadanya dan tidak menjerakan mereka, memudahkan dan tidak menyulitkan. Ia adalah suatu metode yang mengesankan sasaran dakwah, di mana para dā'ī berperan sebagai teman dekat yang menyayanginya, dan sebagai yang mencari segala hal yang bermanfaat baginya dan membahagiakannya.

Maw'izah al-hasanah adalah yang dapat masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan; tidak berupa larangan terhadap sesuatu yang tidak harus dilarang; tidak menjelek-jelekkan atau membongkar kesalahan. Sebab, kelemah-lembutan dalam menasehati (al-maw'izah) seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar. Bahkan, ia lebih mudah melahirkan kebaikan ketimbang larangan dan ancaman.

Lebih dari itu, sesungguhnya kelemah-lembutan, pelan-pelan dan sikap penuh kasih dan sayang –dalam konteks dakwah– dapat membuat seseorang merasa dihargai kemanusiaannya dan membangkitkan perasaan seperti itu pula dalam dirinya. Ia akan sangat tersentuh, karena rasa cinta dan sayang yang diperlihatkan dā'ī dapat membangkitkan semangatnya untuk menjadi mukmin yang baik.

Allah SWT berfirman :

فبما رحمة من الله لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب لا انفضوا من حولك

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati (bersikap) kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu.


 

Inti dari pengertian ayat di atas adalah bahwa aktivitas dakwah adalah dengan maw'izah al-hasanah yang mengarah kepada pentingnya pertimbangan manusiawi dalam segala aspeknya. Sikap lemah lembut (affection) menghindari sikap keras hati (egoisme) adalah warna yang tidak terpisahkan dalam cara seseorang melancarkan gagasan-gagasannya untuk mempengaruhi orang lain. Cara seperti ini disebut cara persuasive sebagai lawan dari cara coercive (memaksa).

    Caranya dengan mempengaruhi obyek dakwah atas dasar pertimbangan psikologis dan rasional. Maksudnya sebagai subyek dakwah harus memperhatikan semua determinan psikologis dari obyek dakwah berupa tingkat berfikir (frame of reference) dan lingkup pengalamannya (field of experience).

Dalam hal ini Nabi memberi petunjuk

خاطبوا
الناس على قدرعقولهم

"Berbicaralah kepada manusia menurut kadar aqal (kecerdasan) mereka masing-masing."


 

Petunjuk Nabi di atas menegaskan bahwa subyek dakwah harus mampu menyesuaikan dan mengarahkan message dakwahnya sesuai dengan tingkat berpikir dan lingkup pengalaman dari obyek dakwahnya, agar tujuan dakwah sebagai ikhtiar untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan pribadi/masyarakat dapat terwujud, menjadi khairu ummah yaitu ummat yang adil dan terpilih sehingga terwujudlah ummat yang sejahtera lahir batin.

  1. Mujadalah

Mujadalah berasal dari kata jadal yang bermakna penggunaan hujjah (argumentasi) untuk meluruskan suatu pendapat dan menolak pendapat yang berbeda dengannya. Jadi merupakan dialog dan tukar menukar dalil serta mendiskusikannya.

Al-Jurjāni dalam kitab al-Ta'rifāt mengartikan jadal sebagai penolakan orang terhadap lawannya tentang pendapatnya yang batal dengan menggunakan suatu argumentasi atau yang serupa dengan itu, atau dengan maksud meluruskan pembicaraannya. Al-Jurjani menegaskan bahwa jadal pada hakikatnya adalah pertengkaran. Tentu saja yang kita maksud adalah adu argumentasi dan dialog dengan cara yang tidak menjurus kepada pertengkaran. Sesuai dengan penegasan al-Qur'ān bahwa jadal di sini diikuti oleh hal yang ahsan. Tegasnya kita berdiskusi dengan cara yang lebih baik dari cara-cara berdiskusi yang ada.

Abdullah Syahathah, al-Maraghi dan Muhammad Abduh mengartikan mujadalah sebagai kegiatan bertukar pikiran atau berdiskusi dengan cara yang sehat dan teratur, dan bertujuan untuk mencari kebenaran, sehingga orang yang tadinya menentang menjadi puas dan menerima dengan baik.

Berdiskusi yang baik adalah yang konsisten dengan pokok pembicaraannya, jauh dari sikap mengada-ada dan menyingkirkan masalah-masalah kecil dalam menghadapi persoalan-persoalan yang besar. Dalam hal ini dā'ī harus menjaga efisiensi (penghematan waktu) dan harga diri disertai dengan keinginan keras agar tetap pada kata-kata yang halus dan lemah lembut, jauh dari kata-kata yang kasar dan menusuk hati.

Tugas dā'ī bukan meraih kemenangan atas musuh untuk memuaskan ambisi kesombongan diri. Tugas dā'ī adalah menyadarkan orang lain untuk mengikuti kemanusiaannya, dan mengingatkannya akan perbudakan (teologis) yang mengikatnya, lalu membantunya untuk mengikuti jalan yang benar. Sehingga ia nanti justru akan menjadi sahabat dalam menyukseskan dakwah menuju Allah.

Dengan sikap seperti itu akan terjadi diskusi dan perdebatan yang lebih baik.

Diskusi atau perdebatan yang menitikberatkan pada pencarian kelemahan lawan dan mengarah pada sarkasme serta yang menggunakan cara-cara keras dan kejam tidaklah dapat memahamkan akidah atau keyakinan terhadap seseorang sehingga mereka beriman dengan jiwa dan akalnya. Justru yang terjadi adalah timbulnya kesan pelecehan terhadap keagungan dan kemuliaan manusia. Lawan akan merasa dipaksa untuk kalah dalam pemikiran dan keyakinannya. Mereka akan merasa sebagai orang yang kalah dalam pertengkaran dan pertempuran.

Oleh karena itu sangatlah penting memperhatikan pedoman yang diberikan Sayyid Qutub dalam Fi Zilal al-Qur'ān-nya tentang mujadalah yaitu :

  1. tidak merendahkan pihak lawan atau menjelek-jelekkan, karena tujuan diskusi bukan mencari kemenangan, melainkan memudahkannya agar ia sampai kepada kebenaran.
  2. Tujuan diskusi semata-mata untuk menunjukkan kebenaran sesuai dengan ajaran Allah.
  3. Tetap menghormati pihak lawan, sebab jiwa manusia tetap memiliki harga diri. Karenanya harus diupayakan ia tidak merasa kalah dalam diskusi dan merasa tetap dihormati dan dihargai.

***

Berdasar pada 3 prinsip metode dakwah (hikmah, maw'izah al-hasanah dan mujadalah) di atas dapat disebutkan metode-metode dakwah sebagai berikut :

  1. Dakwah qawliyah, yaitu dakwah yang berbentuk ucapan atau lisan yang dapat didengar oleh obyek dakwah (dakwah bi al-lisan). Dakwah qawliyah ini meliputi :
    1. Metode ceramah/khitabah/retorika yaitu penyampaian dakwah secara lisan di depan beberapa orang. Bentuk metode ini antara lain ceramah agama, khutbah, maw'izah al-hasanah dan sebagainya.
    2. Metode diskusi (al-mujadalah), yaitu penyampaian dakwah dengan topik tertentu dengan cara pertukaran pendapat di antara beberapa orang dalam satu pertemuan.
    3. Metode tanya jawab, yaitu penyampaian dakwah dengan cara dâ'i memberikan pertanyaan dan atau memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh satu pihak atau kedua pihak.
    4. Metode infiltrasi/susupan/selipan, yaitu metode penyampaian di mana intisari agama disusupkan atau diselipkan ketika memberikan keterangan atau penjelasan. Maksudnya bersama-sama dengan bahan-bahan lain (umum) dengan tidak terasa kita masukkan intisari atau jiwa agama kepada orang yang mendengarkan keterangan atau penjelasan tersebut.
  2. Dakwah kitabiyah, yaitu metode penyampaian dakwah melalui tulisan, yang dapat disalurkan melalui media massa berupa buku, artikel di majalah, surat kabar dan sebagainya.
  3. Dakwah fi'liyah, yaitu metode penyampaian dakwah yang berupa tindakan nyata. Dakwah fi'liyah ini lebih dikenal dengan istilah dakwah bi al-hal. Dakwah seperti ini dapat berupa keteladan, bakti sosial, pemberian pelayanan kesehatan, penyantunan fakir-miskin dan sebagainya.
  1. Efek Dakwah

Efek dakwah adalah informasi dan reaksi setelah materi dakwah disampaikan oleh dā'ī atau juru dakwah kepada obyek dakwah. Karena itu efek dakwah merupakan akibat dari pelaksanaan proses dakwah. Positif atau negatif efek dakwah itu berkaitan dengan unsur-unsur dakwah lainnya, tidak bisa terlepas hubungannya. Karena itu seorang dā'ī harus memperhitungkan tentang efek apa yang timbul setelah materi dilontarkan kepada masyarakat.

Keberhasilan berdakwah tidak tampak jelas seperti seorang dokter mengobati suatu penyakit. Penelitian permasalahan mengenai efek dakwah akan menjadi feedback (umpan balik) dan bermanfaat bagi evaluasi unsur-unsur dakwah tersebut, agar dapat mengimprovisasi proses dakwah selanjutnya.

    M. Arifin menulis:

"Antara output dengan input terjadi interaksi yang disebut feedback (umpan balik) sebagai pengkoreksi lebih lanjut terhadap bahan input yang dimasukkan ke dalam proses-proses penerimaan manusia. Bilamana output tidak sesuai dengan input maka perlu dilakukan perbaikan-perbaikan lebih lanjut. Bilamana output sudah tepat atau sudah benar sesuai dengan input maka tidak perlu dilakukan perbaikan-perbaikan, bahkan kalau perlu dikembangkan terus."


 

Dalam melakukan evaluasi dan koreksi terhadap efek dakwah, harus dilakukan secara radikal dan menyeluruh. Seluruh komponen sistem (unsur-unsur) dakwah harus dievaluasi secara menyeluruh. Di sini dā'i harus memiliki jiwa keterbukaan untuk pembaharuan dan perubahan disamping bekerja dengan menggunakan ilmu. Jika proses evaluasi ini menghasilkan beberapa kesimpulan dan keputusan, maka segera diikuti dengan tindakan korektif. Apabila yang demikian dapat terlaksana dengan baik, maka terciptalah suatu mekanisme perjuangan dalam bidang dakwah.

    Efek dakwah yang perlu dicermati oleh dā'ī adalah terjadinya proses perubahan pada diri obyek dakwah yang terdiri dari tiga aspek berikut:

  1. Efek Kognitif

Efek kognitif terjadi bila ada perubahan pada apa yang diketahui, difahami atau dipersepsi oleh obyek dakwah, setelah mereka menerima pesan/materi dakwah. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, ketrampilan, kepercayaan atau informasi. Karena itu efek ini diterima oleh obyek dakwah melalui proses berfikir. Berfikir di sini menunjukkan berbagai kegiatan yang melibatkan penggunaan konsep dan lambang. Sedangkan kegunaan berfikir adalah untuk memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan, memecahkan masalah dan menghasilkan yang baru.

Jadi dengan menerima pesan melalui kegiatan dakwah, diharapkan akan dapat mengubah cara berfikir seseorang tentang ajaran agama dengan pemahaman yang sebenarnya. Seseorang dapat faham atau mengerti setelah melalui proses berfikir. Ketika berfikir seseorang mengolah, mengorganisasikan bagian-bagian dari pengetahuan yang diperolehnya, dengan harapan pengetahuan dan pengalaman yang tidak teratur dapat tersusun rapi dan merupakan kebulatan yang dapat dikuasai dan dipahami.

Aspek kognitif ini amat menentukan aspek-aspek lainnya, sebab tanpa pemahaman/pengertian dan pemikiran terhadap materi dakwah oleh penerima dakwah tidaklah mungkin dapat diharapkan tumbuhnya aspek-aspek perubahan lainnya.

  1. Efek Afektif

Efek afektif timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi atau dibenci oleh obyek dakwah yang terkait dengan emosi, sikap serta nilai, setelah obyek dakwah menerima dakwah. Efek afektif ini merupakan salah satu bentuk efek yang berkaitan dengan bagaimana sikap dari obyek dakwah di dalam menanggapi ajaran Islam yang telah disajikan oleh dā'ī kepada mereka. Pada tahap atau aspek ini pula penerima dakwah dengan pengertian dan pemikirannya terhadap pesan dakwah yang telah diterimanya akan membuat keputusan untuk menerima atau menolak pesan dakwah.

  1. Efek Behavior.

Efek ini merupakan suatu bentuk efek dakwah yang berkaitan dengan pola tingkah laku obyek dakwah dalam merealisasikan materi dakwah yang telah disajikan dalam kehidupan sehari-hari. Efek ini muncul setelah melalui proses kognitif (yaitu faktor-faktor yang dirasakan oleh individu melalui pengamatan dan tanggapan) dan afektif (yaitu yang dirasakan oleh individu melalui pengamatan dan tanggapan). Jelasnya, seseorang bertindak atau bertingkahlaku setelah orang itu mengerti dan memahami apa yang telah diketahui itu masuk ke dalam perasaannya, kemudian timbullah keinginan untuk bertindak atau bertingkah laku. Apabila orang itu bersikap positif maka ia cenderung berbuat yang baik, dan apabila ia bersikap negatif, maka ia cenderung untuk berbuat tidak baik.

Jadi perbuatan atau perilaku seseorang itu pada hakekatnya adalah perwujudan dari perasaan dan pikirannya. Dalam konteks dakwah, perilaku yang diharapkan adalah perilaku yang sesuai dengan pesan dakwah yaitu perilaku positif sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.

Jika dakwah telah dapat menyentuh aspek behavioral atau telah dapat mendorong manusia melakukan tuntunan ajaran Islam dengan baik, maka dakwah dapat dikatakan telah berhasil.

Jika dakwah tidak dapat menyentuh ketiga aspek perubahan di atas, maka evaluasi dakwah diarahkan kepada komponen-komponen dakwah yaitu dā'ī, materi, media, metode atau komponen lainnya. Evaluasi ini akan mendeteksi kekurangan dan kelemahan pada masing-masing komponen tersebut, sehingga dapat diketahui komponen mana yang menyebabkan dakwah menjadi kurang optimal.

Analisis Sistem Dakwah

Menurut Ryans DG sistem adalah

setiap kumpulan unsur (obyek, kegiatan, catatan informasi dan sebagainya) yang dapat dikenali, yang saling berkaitan melalui proses atau struktur dan yang dianggap berfungsi sebagai suatu kesatuan keorganisasian dalam mencapai produk yang dapat diamati (kadang-kadang hanya dapat diperkirakan saja.


 

Nasruddin Razak mendefiniskan sistem sebagai berikut:

Sistem (system) menurut arti logat adalah suatu kelompok unsur-unsur yang saling berhubungan membentuk suatu kesatuan kolektif. Maksud sistem adalah suatu rangkaian kegiatan yang sambung bersambung saling berkaitan menjelmakan urutan yang logis dan tetap terikat pada ikatan hubungan antar kegiatan masing-masing dalam rangkaiannya secara menyeluruh.


 

Fuad Amsyari mengartikan sistem sebagai kumpulan dari berbagai komponen yang terkait satu sama lain dan membentuk suatu kesatuan untuk melakukan suatu fungsi atau tujuan tertentu.

Berbagai pengertian sistem di atas menunjukkan bahwa di dalam sistem terdapat bagian-bagian yang disatukan oleh bentuk interaksi tertentu bagi tercapainya tujuan. Karena itu Iskandar Wiryokusumo mendefinisikan sistem sebagai suatu organisasi dari kumpulan komponen yang berhubungan satu sama lain. Kemudian ia membagi sistem menjadi dua :

  1. Supra sistem, yaitu sistem yang lebih kompleks atau lebih besar dengan terdiri dari banyak komponen.
  2. Sub sistem, yaitu sistem yang lebih kecil yang mungkin merupakan bagian dalam sistem.

Suatu sistem umumnya diurai atau dikenali dari beberapa aspeknya yakni komponen, pengelola, sumber daya, fungsi atau tujuan, wilayah/batas, dan lingkungan (luar).

Komponen sistem artinya bagian dari sistem atau disebut pula sub sistem. Seringkali komponen sistem ini juga merupakan sistem yang lebih kecil, sehingga daripadanya terlahir beberapa sub sistem. Struktur yang seperti ini masih dimungkinkan terus berlanjut.

Pengelola sistem adalah pihak yang mempunyai kewenangan mengatur mekanisme sistem. Sumber daya sistem adalah hal-hal yang diperlukan oleh sistem untuk menggerakkan sistem di dalam mencapai tujuan. Fungsi atau tujuan sistem adalah target yang ingin diwujudkan dengan dibentuknya sistem tersebut. Wilayah/batas sistem adalah wilayah ruang, waktu atau kemampuan yang menjadi ajang kewenangan bergerak sistem tersebut. Sedangkan yang disebut lingkungan luar sistem ialah faktor-faktor yang mempunyai pengaruh berarti terhadap tercapainya tujuan, akan tetapi tidak banyak dapat dikontrol oleh pengelola sistem.

    Berpijak pada pengertian sistem di atas, kalau kita kaitkan dengan Islam dan dakwah, maka Islam dan dakwah adalah suatu sistem. Islam adalah suatu sistem yang memiliki komponen-komponen 'aqīdah, sharī'āh dan 'akhlāq. Kesatuan dari tiga komponen tersebut menghasilkan sistem Islam.

Adapun dakwah merupakan bagian dari sistem Islam, yaitu sebagai upaya untuk mendorong manusia agar berbuat kebajikan dan mengikuti petunjuk agama, menyeru mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar, agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Atau secara singkat dakwah dapat berarti upaya mengajak manusia ke jalan Allah atau al-Islam.

Dengan demikian Islam adalah supra sistem dari dakwah. Islam adalah sistem yang lebih kompleks atau lebih luas yang di dalamnya terdapat dakwah sebagai suatu sistem.

Sistem dakwah sendiri dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang :

  • Sistem dakwah yang berarti keterkaitan antara beberapa komponen dakwah sehingga menjadi suatu kesatuan yang utuh yang masing-masing mempunyai fungsi, yang bertujuan untuk mempengaruhi cara merasa, berfikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio-kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan.

Dari rumusan di atas kemudian akan timbul pertanyaan-pertanyaan :

  • Apa saja komponen-komponen dakwah itu ?
  • Siapa pengelola dakwah itu ?
  • Apa dan siapa sumber daya dakwah ?
  • Apa tujuan dakwah ?
  • Sejauh mana batas wilayah dakwah itu ?
  • Hal-hal apa yang masuk kategori lingkungan luar sistem dakwah ?

    Sejalan dengan pemikiran di atas Amrullah Achmad mengatakan :

        Sebagai suatu sistem usaha mewujudkan nilai-nilai Islam, dakwah merupakan suatu kebulatan dari sejumlah unsur/bagian/elemen yang antara satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan berinteraksi dalam rangka mencapai suatu tujuan; mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, material dan spiritual yang diridhai Allah SWT. dalam rangka mengantarkan kedamaian dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.


     

  1. Sistem dakwah dari sudut pandang makro dan mikro. Maksudnya dari sudut pandang makro, sistem dakwah hanya berstatus sebagai sub sistem dari kehidupan sosio-kultural dalam arti luas. Sedang berdasarkan pandangan mikro, sistem dakwah berarti berdiri sendiri, sehingga analisis terhadapnya berdasarkan analisis faktor komponen yang membentuk sistem.

    Sistem dakwah terbentuk dari beberapa sub sistem yang merupakan komponen-komponen yang lebih kecil dan merupakan bagian dari sistem dakwah. Tentang komponen-komponen dakwah ini ada yang menyebutnya unsur-unsur dakwah dan ada pula yang menyebutnya faktor-faktor dakwah. Akan tetapi khusus penyebutan faktor dakwah yang dipandang sejalan dengan pengertian komponen dakwah terdapat beberapa keberatan. Faktor adalah suatu fakta yang dapat membentuk atau mempengaruhi fakta lain. Jadi faktor dapat saja berupa hal-hal yang termasuk dalam kategori komponen, dan dapat pula berupa hal-hal yang di luar kategori komponen. Dengan demikian komponen dakwah tidak selalu sama dengan faktor dakwah.

    Secara umum yang termasuk dalam komponen dakwah adalah unsur-unsur dakwah sebagaimana yang telah dibahas pada permulaan bab ini yaitu : dā'ī atau subyek dakwah, obyek dakwah, materi dakwah, media dakwah, metode dakwah dan efek dakwah.

    Kerangka berpikir seperti di atas dikritik oleh Amrullah Achmad melalui uraiannya :

    Kerangka sistem dakwah yang banyak difahami oleh masyarakat dewasa ini adalah materi, dā'ī, metode, media dan obyek yang sebenarnya akan lebih tepat jika itu sistem tabligh/penerangan/penyiaran Islam. Karena jika itu yang dimaksud dengan sistem dakwah, maka dapat dikatakan bahwa dakwah sejenis ilmu komunikasi.


     

    Kritikan tersebut dapat diterima. Meskipun begitu bukan berarti unsur-unsur tersebut harus dibuang. Yang dibutuhkan oleh ilmu dakwah adalah pengembangan ke arah yang lebih sempurna, sehingga keberadaan ilmu dakwah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

  2. Sistem dakwah dari sudut pandang sistem input, output dan proses. Menurut Nasruddin Razak sistem dakwah haruslah jelas input dan outputnya, yang di antara keduanya terdapat suatu proses tertentu.

Pengertian input adalah dā'ī sebagai sumber informasi atau sebagai komunikator; pengertian output adalah cita-cita dakwah yang berupa cita-cita jangka pendek dan jangka panjang; pengertian proses adalah pelaksanaan dakwah; dan pengertian feedback adalah umpan balik dari obyek dakwah setelah proses dakwah, yang kemudian diikuti proses evaluasi secara cermat dan tindakan korektif, untuk selanjutnya berproses secara menyeluruh tapi saling berkaitan dan sambung-menyambung dan akhirnya garis terakhir yang merupakan cita-cita dakwah (output).

Dalam konteks sistem dakwah dari sudut pandang sistem input-output, Amrullah Ahmad berpendapat bahwa sistem dakwah terdiri atas lima komponen dasar yaitu input (masukan), konversi (proses pengubahan), output (keluaran), feedback (umpan balik), dan environtment (lingkungan).

Secara rinci lima komponen dasar di atas dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Komponen input yang terdiri atas raw input (masukan utama), instrumental input (masukan alat/metode/sarana) dan environmental input (masukan lingkungan), yang kesemuanya berfungsi memberikan informasi, energi dan materi yang menentukan eksistensi sistem.
  2. Komponen konversi yang berfungsi mengubah input menjadi output, merealisir ajaran Islam menjadi realitas sosiokultural yang diprose dalam kegiatan administrasi dakwah (organisasi, manajemen, kepemimpinan, komunikasi dakwah dan sebagainya).
  3. Komponen output yang merupakan hasil dakwah yaitu terciptanya realitas baru menurut ukuran tujuan ideal dan tujuan antara dari sistem yang bersumber dari al-Qur'ān.
  4. Komponen feedback yang berfungsi memberikan pengaruh baik yang positif maupun yang negatif terhadap sistem dakwah khususnya, dan realita sosio-kultural pada umumnya.
  5. Komponen lingkungan yang berfungsi sebagai kenyataan yang hendak diubah atau memberikan pengaruh terhadap sistem dakwah terutama memberi masukan permasalahan yang perlu dipecahkan yang menyangkut segala segi kehidupan.

Sistem dapat dibagi menjadi sistem terbuka yaitu sistem yang menerima input dari luar dan mengeluarkan output keluar sistem dan sebaliknya ada sistem tertutup. Dalam konteks ini sistem dakwah merupakan sistem terbuka, disamping sebagai sistem input-output dan feedback. Dakwah sebagai sistem input-output artinya bahwa sistem dakwah dibentuk oleh komponen-komponen yang mentransformasikan input menjadi output (realitas Islam). Faktor kualitas dā'ī dalam proses pengubahan ini sangat menentukan dan terakhir adalah faktor hidayah Allah SWT. Proses interelasi dan interaksi antar komponen dipandang sebagai fungsi yang menghubungkan input dengan output sistem.

Dakwah sebagai sistem terbuka artinya sistem dakwah dipengaruhi atau mempengaruhi lingkungan sosio-kultural.

Sistem dakwah sebagai sistem feedback artinya sistem dakwah dipengaruhi oleh umpan balik yang datang dari sistem itu sendiri. Meskipun umpan balik itu tidak secara langsung tetapi output yang diberikan kepada lingkungan akan dapat mempengaruhi kondisi lingkungan akan dapat mempengaruhi kondisi lingkungan dengan kadar apa pun.

Untuk memahami sistem dakwah sebagai sistem input-output, sistem terbuka dan sistem feedback yang terdiri atas lima komponen dasar yaitu input (masukan), konversi (proses pengubahan), output (keluaran), feedback (umpan balik), dan environtment (lingkungan), dapat diperhatikan diagram berikut :